<$BlogRSDURL$>

Hariyanto Imadha

Bojonegoro / Warga Epistoholik Indonesia

Wednesday, April 14, 2004

Selamat datang di situs blog saya,
Sebagai warga Epistoholik Indonesia.



Nama saya, Hariyanto Imadha, berdomisili di Bojonegoro, Jawa Timur. Biodata saya dapat Anda baca di situs saya di www.bojonegoro.cjb.net pada subjudul “Webmaster”.

Saya menulis sejak tahun 1973 ketika itu saya masih di tingkat I Fakultas Ekonomi Universitas Trisakti, Jakarta. Surat Pembaca pertama justru saya tujukan terhadap kampus saya sendiri.

Saya menekuni hobi membuat surat pembaca karena bahasanya bebas (tidak terikat kaidah-kaidah ilmu pengetahuan).Di samping itu saya sering melihat hal-hal yang patut dikritik di sekitar kita ini (tentang apa saja). Apalagi cakupan subjek surat pembaca sifatnya bebas. Bisa kritik, keluhan, saran, tanggapan, opini, gagasan/usul/ide, sindiran, dll. Bisa politik, ekonomi, hukum, budaya, filsafat, teknologi informasi, dll.

Dulu, hampir tiap minggu mengirim banyak surat kabar ke berbagai koran/majalah/tabloid yang terbit di seluruh Indonesia. .Jumlahnya mungkin sekitar 5.000 surat pembaca (sejak 1973-2004). Masalahnya, saya tidak mungkin memiliki semua koran/majalah/tabloid tersebut karena faktor biaya, waktu dan koran/majalah/tabloid tersebut tidak beredar di kota saya (Saya pernah tinggal di Jakarta,Bekasi dan sekarang Bojonegoro).

Saya tidak tahu bagaimana caranya memiliki semua bukti-bukti otentik tersebut. Bahkan harian Surabaya Post pun sudah bubar. Sebagian (mungkin sekitar 100 tulisan) saya muat di situs pribadi saya di http://www.bojonegoro.cjb.net pada subjudul “Kumpulan Surat Pembaca”.

Aktivitas sebagai epistoholik banyak sukanya, antara lain teman-teman lama mengetahui di mana alamat terakhir saya, nama saya banyak dikenal orang,dll. Tidak enaknya, kebanjiran brosur iklan, MLM, surat berantai, surat cinta, kritik yang salah sasaran.

Ada yang mengira saya mengalami gangguan kejiwaan, ada yang mengira saya iri terhadap orang-orang yang punya gelar sarjana dan dianggapnya saya bukan sarjana, dll.

Saya tidak keberatan Anda membuat situs tentang saya di website Anda.Bahkan jika perlu website Anda pun akan saya iklankan di situs saya (gratis). Saya akan mendukung Epistoholik Indonesia yang Anda bentuk.


Bojonegoro, 28 Maret 2004

Hormat saya,



Hariyanto Imadha
http://www.bojonegoro.cjb.net
indodata@yahoo.com
Bojonegoro


==========================

(10) BANYAK SITUS PEMDA TAK BERMANFAAT
Dimuat di Kolom Interupsi, Harian SURYA (Surabaya), 16/7/2003


DI Filipina tinggal 27% provinsi atau. distrik yang belum memiliki situs. Sementara itu, Indonesia kebalikannya, baru 27% provinsi yang memiliki situs. Itu pun terkesan tidak ditangani secara serius. Banyak berita basi dimuat. Bahkan saya sampai pada kesimpulan bahwa banyak www.xxx.go.id yang tidak bermanfaat.

Banyak situs Pemda menampilkan foto﷓foto anggota DPRD yang 'ganteng-ganteng' dan 'ayu﷓ayu’. Padahal, yang diinginkan rakyat yaitu informasi tentang kinerja DPRD. Berapa. perda baru yang dibuat, berapa raperda yang selesai, berapa perda lama yang dicabut, dst. Pengunjung situs juga ingin tahu berapa anggaran DPRD lengkap dengan rinciannya.

Sebenarnya pengunjung situs juga ingin tahu, apa saja hasil kerja dari masing﷓masing pejabat, dinas atau badan. Misalnya, apa saja yang dihasilkan Bawaskab (Badan Pengawasan Kabupaten), lowongan kerja apa saja yang tersedia di Disnaker, apa saja rencana kerja bupati, d1l.

Hampir semua situs Pemda tidak menyediakan content suara warga (semacam PO Box pengaduan, kritik dan saran). Bahkan lebih dari 50% situs Pemda hingga berbulan﷓bulan tidak pernah diedit.

Saya menamakan situs yang demikian sebagai situs yang'mati suri'. Dari hari ke hari itu﷓itu saja pe nampilannya. Lebih lucu lagi, banyak link setelah di 'klik' ternyata cuma halaman kosong bahkan tidak bisa dibuka. Masak sih, situs Pemda cuma beberapa halaman saja (kurang dari 10 halaman).

Situs Pemda yang baik seharusnya bersifat informatif (bermanfaat bagi warga), komunikatif (ada. content tanya jawab), aspiratif (memuat kritik, saran, usul dari warga), transparan (memuat seluruh data keuangan terutama RAPBD/APBD, LPj Bupati, dll), layanan online (perizinan, pembayaran pajak/telepon/listrik/ PDAWdII), memuat rencana kerja dan hasil kerja dari semua dinas atau instansi yang ada di Pemkab termasuk informasi dari tiap desa dan kecamatan.

Menurut saya, seharusnya 'www.indonesia.go.id' berfungsi sebagai induk dari semua situs milik Pemda. Artinya, situs tersebut harus memuat semua alamat situs Pemda yang ada di Indonesia. Dengan demikian memudahkan para calon investor untuk mencari informasi tentang potensi﷓potensi bisnis yang ada di daerah.

Jujur saja, banyak warga yang mengunjungi situs Pemda (www.xxx.go.id) hanya satu dua kah saja. SoaInya, warga merasa tidak memperoleh manfaat apa﷓apa.



Hariyanto Imadha
JI AIS Nasution No 5
Bojonegoro


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 24/4/2004


------------------------

(9) SURAMADU. MENINGKATKAN URBANISASI 500 %
Dimuat di Kolom Interupsi, Harian SURYA (Surabaya), 14/7/2003


KABARNYA, sekitar Juli﷓Agustus pembangunan Jembatan Suramadu yang menghubungkan Kota Surabaya dan Pulau Madura segera dimulai. Salah satu tujuan dibangunnya Suramadu adalah untuk memperlancar arus lalu lintas antara Surabaya-Madura dan diharapkan pembangunan di pulau garam bisa berkembang pesat.

Tujuan tersebut bisa tercapai bilamana Surabaya dinyatakan sebagai kota tertutup untuk investor baru yang akan membuka industri baru. Lantas, Madura harus dinyatakan sebagai 'Pulau Industri'. Artinya, mereka yang akan membuka industri baru di Surabaya harus dialihkan ke Madura.

Harus diakui, kota Surabaya ibarat gadis cantik. Banyak daya tariknya. Mulal dari banyaknya perguruan tinggi, lapangan kerja, lapangan usaha dan daya tarik lainnya.

Oleh karena itu, jika Kota Surabaya tidak dinyatakan sebagai kota tertutup bagi industri baru dan Madura dipromosikan sebagai pulau industri, maka saya sangat khawatir, jangan﷓jangan Suramadu justru. akan memperlancar arus urbanisasi dan Madura ke Surabaya atau Jawa Timur sekitar 300% hingga 500%.

Akibatnya, Surabaya akan menghadapi masalah sosial yang lebih parah lagi. Oleh karena itu, Pulau Madura harus dijadikan sebagai 'Pulau Industri'.



Hariyanto Imadha
JI AIS Nasution No 5
Bojonegoro


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 24/4/2004


---------------------------

(8) GELAR SARJANA SAATNYA DITERTIBKAN
Dimuat di Kolom Interupsi, Harian SURYA (Surabaya), 9/7/2003


DI Harian Surya, Minggu 22 Juni 2003, ada judul berita yang menarik, yaitu Gelar palsu diancam 5 tahun. Sebenarnya, masalah gelar palsu sudah berlangsung lama, namun pihak pemerintah bersikap 'kura﷓kura dalam perahu'.

Jujur saja, di Indonesia ada ratusan ribu orang yang memakai gelar palsu tersebut. Tidak pernah kuliah, tahu﷓tahu punya gelar MBA, MM, M.Hum, dll. Bahkan di kota saya ada pimpinan perusahaan yang mendadak punya gelar prof (profesor).

Menurut saya, saatnya pemerintah bersikap tegas. Caranya, adakan uji ulang terhadap semua orang yang punya gelar, yaitu melalui UAN PT (Ujian Akhir Nasional Perguruan Tinggi) yang berlaku untuk lulusan PTN/PITS tanpa memandang usia.



Hariyanto Imadha
JI AIS Nasution No 5
Bojonegoro


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 24/4/2004


------------------------

(7) KULIAH MURAH LEWAT E-UNIVERSITY
Dimuat di Kolom Interupsi, Harian SURYA (Surabaya), 26/6/2003


KONSEKUENSI moto education for all adalah biaya pendidikan yang terjangkau untuk semua lapisan masyarakat. Kalau biaya di PT (perguruan tinggi) hanya bisa dinikmati segelintir masyarakat yang punya uang, maka moto tersebut telah berubah menjadi education for the haves (pendidikan hanya untuk orang berduit).

Di beberapa negara yang sudah maju, biaya kuliah yang mahal bisa diatasi dengan cara membuka pendidikan melalui internet yang mempunyai sebutan cukup banyak, antara lain e﷓learningl virtual university /e﷓campus le﷓education le university, dll. Saya lebih suka menggunakan istilah e﷓university karena huruf "e" merupakan ciri, khas internet.

Melalui e﷓university semua kegiatan akademik bisa diikuti, mulai dari pengumuman, pendaftaran, pembayaran, download materikuliah, latihan ujian, pekerjaanrumah, tugas, diskusi (lewat e-mail, mailing list atau chatting), dll. Hanya ujian yang harus diadakan di kampus.

E﷓university bisa dinikmati melalui komputer pribadi atau melalui warnet. Rata﷓rata satu mata kuliah bisadikemas di dalam satu disket kecil atau sekitar 1.44 MB dan jika di download memerlukan Waktu 1,44 jam dengan biaya internet antara. Rp 2.500 s/d Rp 11.000 perjam (tergantung biaya rental di warnet) atau rata﷓rata Rp 10.000 per mata kuliah. Jika satu semester ada 10 mata kuliah maka biaya download sekitar Rp 100.000. SPP Rp 50.000 per bulan atau sekitar Rp,300.000 per semester. Biaya kegiatan lain-lain lewat internet (diskusi, tanya-jawab, lihat pengumuman, dll.) sekitar Rp 100.000. Total Rp 500.000 per semester. Biaya pendaftaran, ujian, dlI ditentukan pihak e﷓university. Boleh saja memungut sumbangan tetapi sifatnya sukarela. Semua biaya tersebut rnasih sangat mungkin dibuat lebih murah lagi.

E﷓university tentu saia terbatas pada bidang﷓bidang ilmu pengetahuan tertentu. Meskipun demikian, e﷓university adalah merupakan salah satu solusi pendidikan yang murah. Andaikan semua PTN mau membuka jalur e﷓university, maka pihak PTN bisa mengumpulkan dana ratusan miliar rupiah.

Hanya melalui e﷓university moto education for all bisa direalisasikan. Ingin informasi lebih lan jut tentang e﷓university? Dengan mengetik keyword “e﷓university” pada search engine, Anda akan mendapatkan 59.600 alamat e-university yang menawarkan gelar BA, MBA, PhD, dll.

Kalau memang Indonesia ingin mencerdgskan kehidupan bangsa dengan biaya yang terjangkau, maka solusi e﷓university tidak bisa ditawar﷓tawar lagi. Untuk urusan e﷓university ini, PTN/PTS di Indonesia saya nilai tergolong 'telmi' (telat mikir).



Hariyanto Imadha
JI AIS Nasution No 5,
Bojonegoro


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 24/4/2004


--------------------------

(6) MEMPRIHATINKAN, JALUR KHUSUS MASUK PTN
Dimuat di Kolom Interupsi, Harian SURYA (Surabaya), 21/6/2003


AKHIR-AKHIR ini masalah pendidikan tak habis﷓habisnya jadi bahan perbincangan masyarakat. Bahkan rubrik Interupsi ini memuat banyak tulisan dari pembacanya. Sebagian besar memprihatinkan dunia pendidikan yang mahal dan serba tidak beres ini.

Apalagi, ada berita kalau masuk PTN (perguruan tinggi negeri) bisa melalui jalur khusus asal memberikan dana sekitar Rp 15 juta hingga ratusan juta rupiah. Tampaknya PTN sudah kurang peka terhadap lingkungan masyarakatnya. PTN sudah kehilangan norma, tidak tahu lagi mana yang boleh dan mana yang tidak boleh, mana yang pantas dan mana yang tidak pantas.

Saya khawatir, masyarakat akan mengambil kesimpulan bahwa kalau masuk PTN bisa melalui jalur khusus maka logikanya mereka juga bisa keluar melalui jalur khusus.

Artinya, kalau punya uang banyak bisa masuk PTN, maka kalau punya uang banyak juga bisa dapat gelar sarjana.

Wah, lama﷓lama masyarakat akan meragulcan kualitas lulusan PTN. Lha, wong semuanya bisa melalui jalur khusus.,



Hariyanto Imadha
JI AIS Nasution No 5,
Bojonegoro


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 24/4/2004


----------------------

(5) PERLU, UAN PERGURUAN TINGGI
Dimuat di Kolom Interupsi, Harian SURYA (Surabaya), 3/6/2003



SETELAH saya pelajari status PTS (perguruan tinggi swasa) Terdaftar , Diakui, Disamakan, tidak ada hubungan signifikan dengan kualitas lulusannya. Sebaliknya, tidak ada tolok ukur yang signifikan. untuk menentukan PTN (perguruan tinggi negeii) mana yang paling berkualitas.

Pertanyaannya adalah, apakah lulusan PTN lebih berkualitas dari lulusan PTS ? Apakah lulusan PTS Disamakan lebih hebat dibandingkan lulusan PTS Diakui dan lulusan PTS Diakui lebih bagus daripada lulusan PTS Terdaftar ? Tidak ada jawaban yang signifikan. Semua kriteria itu perlu, namun hanya berlaku untuk kualitas lembaganya.. Tidak untuk kualitas mahasiswanya.

Atas dasar itu melalui harian ini, saya mengusulkan kepada. pemerintah (Depdiknas) agar mulai tahun depan bisa diadakan UAN﷓PT (Ujian Akhir NegaraPerguruan Tinggi) yang berlaku untuk PTN maupun PTS (apa pun status lembaganya).

Bagi mereka yang lulus, berhak mendapatkan No.Reg. (Nomor Registrasi) dari Depdiknas Pusat. Bagi sarjana lulusan dari PT﷓LN (Perguruan Tinggi Luar Negeri) berhak mendapatkan No.Reg. sambil menunjukkan ijazah aslinya (hanya berlaku untuk PT﷓LN ternama, misalkan Harvard University, Queensland University, dll. Depdiknas tenta punya nama PT﷓LN yang berkualitas).

Kalau pemerintah mampu menyelenggarakan UAN untuk tingkat SLTP dan SMU/ SMIK , maka konsekuensinya juga harus. bisa mengadakan UAN﷓PT. Dengan demikian, hanya sarjana yang benar-benar berkualitas yang mampu memiliki No.Reg. tersebut. Jangan seperti. sekarang ini, banyak sarjana pamer gelar, tapi kualitasnya. sangat meragukan !


Hariyanto Imadha
JI AIS Nasution No 5,
Bojonegoro



Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 24/4/2004

--------------------------

(4) GELAR SARJANA BUKAN JAMINAN
Dimuat di Kolom Interupsi, Harian SURYA (Surabaya), 3/6/2003



Kalau saya perhatikan, di kalangan masyarakat Indonesia ini, ternyata masih ada mitos bahwa mereka yang memakai gelar sarjana dianggap sebagai orang pandai, hebat, serba tahu dan mampu mengatasi segala persoalan. Tidak jarang jutaan rupiah dikeluarkan untuk mendapatkan gelar. Kalau perlu jual sawah, tanah, rumah dan harta lainnya.

Padahal, banyak masalah yang tidak mampu diselesaikan sarjana. Buktinya, kita punya banyak sarjana pertanian, tapi beras, gula, buah-buahan dan produk﷓produk pertanian masih impor. Kita punya banyak sarjana pendidikan, namun kualitas pendidikan masih sangat rendah. Banyak sarjana hukum, namun banyak produk hukum yang tumpang tindih. Ribuan sarjana ekonomi, namun menciptakan lapangan kerja untuk diri sendiri tidak mampu. Berderet﷓deret sarjana teknik, namun membuat print out telepon pulsa lokal jug tidak bisa. Sarjana﷓sarjana sosial juga bertekuk lutut menghadapi masalah﷓masalah sosial.

Banyak juga anggota DPRD punya gelar SI, S2, S3, tetapi banyak perda yang telah disahkan ternyata bertentangan dengan undang﷓undang yang ada di atasnya. Mungkin wakil﷓wakil rakyat tersebut kepinteren. Saking pintere, sampai﷓sampai membuat perda saja salah﷓salah melulu.

Zaman sekarang, banyak orang 'gila' gelar. Gelar dianggap status sosial bukan lambang kepandaian. Gelar berubah fungsi menjadi feodalisme modern. Orang menjadi 'minder' kalau tidak memakai gelar.

Sebaliknya, orang merasa 'hebat' kalau memakai berderet﷓deret gelar. Sekarang ini, orang memakai gelar karena ingin dianggap pandai. Padahal sih, ada pepatah mengatakan 'semakin padi berisi, semakin merunduklah dia'.


Hariyanto Imadha
Alumni 6 PTN/PTS
JI AIS Nasution 5
Bojonegoro



Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 24/4/2004


----------------------

(3) NASIB LULUSAN FAKULTAS “KERING”
Dimuat di Kolom Interupsi, Harian SURYA (Surabaya), 17/5/2003



KET1KA masih menjadi mahasiswa saya sering mewawancarai beberapa mahasiswa dari fakultas/jurusan 'kering' (filsafat, arkeologi, antropologi, Sastra Jawa, Perpustakaan, dll) yaitu menanyakan motivasi mereka memilih fakultas/jurusan tersebut. Sekitar 95 % menjawab bahwa yang penting mereka bisa kuliah di perguruan tinggi terutama perguruan tinggi negeri atau yang penting dapat gelar srijana.

Jawaban yang kurang rasional. Ketika saya tanya, setelah lulus mereka akan kerja di rnana, 99% menjawab tidak tahu. Tetapi ada satu mahasiswa (dari keluarga Islam fanatik) Jurusan Sastra China yang jawabannya rasional. Katanya, setelah lulus sebagai sarjana di bidang bahasa China, akan berwiraswasta dengan China, baik yang ada di Indonesia maupun di negara China. Jawaban yang cukup rasional. Sekarang dia benar﷓benar telah sukses mewujudkan cita﷓citanya.

Sebaliknya, saya pernah berternu dengan sarjana filsafat yang terpaksa jualan nasi pecel karena tidak ada penisahaan/kantor yang mau menerimanya sebagai karyawan.

Barangkali ada baiknya para pakar pendidikan mengikuti cara berpikir para pemulung sampah. Kenapa? Mereka ini tahu mana sampah yang laku dijual dan mana yang tidak. Pakar pendidikan harus tahu, mana fakultas/jurusan yang laku di pasar kerja dan mana yang tidak.

Menurut saya, fakultas/jurusan 'kering’ ditutup saja kecuali pihak perguruan tinggi memberikan jaminan kerja bagi para lulusannya. Misalkan sebagai tenaga pengajar pada fakultas/jurusan 'kering' tersebut.

Sudah saatnya perguruan tinggi tidak berfungsi sebagai produsen pengangguran intelektual tetapi juga harus punya tanggung jawab moral terhadap masa depan para. lulusannya..

Sudah saatnya perguruan tinggi mempunyai bursa kerja yang dikelola secara profesional dengan cara bekerja sama dengan berbagai perusahaan yang relevan dengan bidang ilmu pengetahuan dari jurusan/fakultasnya. Kalau tidak sanggup mengelola bursa kerja, sebaiknya perguruan tinggi meniru cara berpikir para pemulung bahwa sampah yang tidak laku dijual sebaiknya dibuang saja. Dengan kata lain, fakultas/ jurusan 'kering' sebaiknya ditutup atau dibubarkan saja.

Hariyanto Imadha
JI AIS Nasution 5
Bojonegoro


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 24/4/2004
---------------------------

(2) KTP NASIONAL MASIH BISA GANDA
Dimuat di Kolom Interupsi Harian SURYA (Surabaya), 14/5/2003



SEJAK tahun 1973 saya punya hobi menulis rubrik surat pembaca, terutama di harian﷓harian yang terbit di Jakarta juga kota﷓kota lain). Banyak gagasan﷓gagasan yang saya tulis, antara lain usul nama. halte bus di Jakarta, saran dibukanya universitas terbuka, ide pengindonesiaan gelar sarjana (gelar Drs, Dra, Ir tidak berlaku), kritik terhadap RCTI atas pemakaian singkatan BBWI sebagai pengganti WIB, jalur khusus bus kota, layanan internet banking, usul pemilihan presiden secara langsung, dan masih banyak lainnya.

Salah satu usul yang bersifat nasional, yaitu KTP nasional (dimuat di Harian Suara Pembaruan, tahun 1995). Saya mengusulkan agar pemerintah membuat KTP nasional di mana tiap penduduk (yang memenuhi syarat) wajib memiliki noppenas (nomor pokok penduduk nasional) atau NIK (Nomor Induk Kependudukan) di mana nomor ini hanya dimiliki satu warga. negara dan tidak berlaku untuk orang lain. S

aya usulkan nomor tersebut wajib ditulis di semua surat﷓surat penting (IMB, serffikat tanah, SIM, kartu keluarga, ijazah, STTB, surat nikah, BPKB, rekening hstrik/telepori/PDAM, d1l).

Bahkan juga saya usulkan agar nomor tersebut juga diberlakukan sebagai NPWPN (Nomor Pokok Wajib Pajak Nasional) di mana setiap warganegara. hanya punya satu NPWPN untuk berbagai macam pajak. Ke mana pun penduduk pindah tempat, nomor penduduknya tetap sama. Konsekuensinya, warganegara yang tidak memiliki nomor penduduk tidak bisa dilayani jika akan mengurus surat﷓surat penting (surat nikah, paspor, d1l). Tujuannya, untuk menertibkan sistem administrasi kependudukan. nasional diujicobakan sekitar tahun 1995-1996 di beberapa wilayah di Jakarta.

Baru﷓baru ini ada kegiatan P4B (Pendaftaran Pemilih dan Pendataan Penduduk Berkelanjutan). Setelah saya pelajari, sistem pendataan penduduk sekarang ini masih mengandung kelemahan. KTP nasional masih bisa digandakan (satu warganegara bisa memiliki lebih dari satu KTP nasional). Caranya masih mudah, yaitu dengan menggunakan alamat yang berbeda dan masih ada cara lain yang tidak perlu.saya tulis di sini.

Penyebab kelemahan sistem kependudukan ini adalah pemerintah hanya memiliki data base kependudukan yang bersifat 'nongrafis', artinya hanya data beruph huruf dan angka. Data tersebut sangat. mudah dipaIsukan.

Data base kependudukan termasuk sempurna jika dilengkapi dengan data yang bersifat 'grafis' yaitu berupa 'bank foto (baru)' dan 'bank sidik jari'. Sidik jari tidak bisa dipaIsukan. Mudah﷓mudahan pemerintah di masa mendatang memiliki 'bank foto' dan 'bank sidik jari' tersebut.



Hariyanto Imadha
JI AIS Nasution 5
Bojonegoro


Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 24/4/2004


---------------------------

(1) PENGAJARAN KOMPUTER DI SEKOLAH RANCU
Dimuat di Kolom Interupsi, Harian SURYA (Surabaya), 12/5/2003



ADA berita menariki seorang pelajar SUP di Prancis digerebek polisi di rumahnya. Pelajar tersebut tertangkap basah karena sedang melakukan hacking ke komputer atau situs milik Pentagon,.AS. PengaJaran komputer di negara﷓negara lain memang tergolong maju, termasuk negara Singapura, Malaysia, dan Filipina. ,

Bagaimana di Indonesia?

Memprihatinkan dan rancu. Soalnya, materi operator diajarkan di SD, SLTP, SMU/SMK dan di tingkat PT (perguruan tinggi) juga masih belajar materi operator. Menurut saya, pengajaran komputer sekolah yang benar sebagai berikut.

· TK : Game (permainan),menggambar atau mewarnai gambar
· SD : ITC (Introduction to Computer) atau pengenalan komputer
· SUP : Operator (WS/Lotus/Word/Excel/Internet)
· SMU/SMK : Pemrograman dasar. Banyak pilihan,mulai dari yang termudah hingga tersulit. Idealnya, pengajarnya sarjana komputer atau sarjana matematika.
· PT (Perguruan Tinggi) : Pemrograman lanjutan. Banyak pilihan.

Sistem pengajaran yang sekarang ini melahirkan sarjana-sarjana gaptek (gagap teknologi). Punya gelar sarjana membuat pemrograman yang paling sederhana saja tidak bisa.

Apa iya, sarjana Indonesia bisanya hanya chatting ?


Hariyanto Imadha
(Indodata@telkom.net)

Diketik ulang oleh Bambang Haryanto, 24/4/2004


------------------------------


Koleksi Surat-Surat Pembaca Selanjutnya Dari
Hariyanto Imadha terhimpun di situs pribadinya di
http://www.bojonegoro.cjb.net
pada subjudul “Kumpulan Surat Pembaca”.










posted by bambang  # 6:23 AM

Archives

04/01/2004 - 05/01/2004  

This page is powered by Blogger. Isn't yours?